Mendidik anak menjadi mandiri itu tidak mudah, karena banyak faktor yang harus diperhatikan, bila seorang guru ingin
melakukannya, dia juga harus melihat, bagaimana seorang anak diperlakukan dalam
oleh keluarga, karena usaha itu tidak akan berhasil, kalau ingin mengajarkan
seorang menjadi mandiri, namun selepas dia dari sekolah, kembali ke rumah
dengan kondisi seorang anak yang sangat dimanja, dan selalu di bawah
bayang-bayang orang tuanya, khususnya sang ibu. Bagaimanakah langkah yang harus
diambil oleh sang guru bila ingin membuat siswanya menjadi mandiri?
Kalau kita ingin membuat siswa menjadi berkualitas, seorang guru harus berusaha sekuat tenaga dan pikiran. Kali ini tugas seorang guru adalah membuat program agar siswa menjadi mandiri, bila menghadapi masalah apa pun, dia akan bisa mengatasinya. Sekarang kita kembali kepada teori tentang AQ (Adversity Quotient) yang dibuat oleh Paul. G. Stoltz, di mana kategori manusia dibagi 3 berdasarkan kesanggupan dia menghadapi masalah. Di sini penulis menggarisbawahi, bahwa bisa menyelesaikan masalah, berarti sang anak itu bisa mandiri, karena tidak akan menyusahkan orang lain. Jadi ada tiga jenis manusia menurut Paul G. Stoltz bila dia menghadapi masalah:
Kalau kita ingin membuat siswa menjadi berkualitas, seorang guru harus berusaha sekuat tenaga dan pikiran. Kali ini tugas seorang guru adalah membuat program agar siswa menjadi mandiri, bila menghadapi masalah apa pun, dia akan bisa mengatasinya. Sekarang kita kembali kepada teori tentang AQ (Adversity Quotient) yang dibuat oleh Paul. G. Stoltz, di mana kategori manusia dibagi 3 berdasarkan kesanggupan dia menghadapi masalah. Di sini penulis menggarisbawahi, bahwa bisa menyelesaikan masalah, berarti sang anak itu bisa mandiri, karena tidak akan menyusahkan orang lain. Jadi ada tiga jenis manusia menurut Paul G. Stoltz bila dia menghadapi masalah:
1. Quitter
Jenis manusia, apabila menemui
masalah atau kesulitan, dia akan berhenti berusaha untuk mengatasinya sendiri.
2.
Camper
Jenis
manusia, apabila menemui masalah atau kesulitan, dia akan bertahan untuk hidup, namun hanya bisa bertahan, tidak akan
mau maju lebih jauh, statis di tempatnya untuk mempertahankan
hidupnya, menjadikan tempat itu sebuah ‘comfort zone.'
3.
Climber
Jenis
manusia, apabila menemui masalah atau kesulitan, dia akan berusaha bertahan
sekuat tenaga, bahkan berpikir
untuk tetap maju menantang kesulitan yang akan timbul di masa depan dan berusaha menjadi lebih baik. Tidak
ingin berada di tempat tapi berusaha dan siap
menghadapi tantang yang lebih berat dalam hidup ini.
Setelah
kita melihat ketiga jenis penggolongan manusia dalam menghadapi kesulitan
berdasarkan Adversity Quotient, maka
sebagai guru, kita juga akan menggolongkan siswa dalam ketiga bagian ini,
kemudian bisa diambil tindakan bagaimana sang murid bisa dididik untuk menjadi
seorang pribadi yang mandiri bila dia kelak menghadapi masalah dalam hidup ini.
Andaikan ada kurikulum untuk pembentukan kepribadian yang tangguh, pastilah
bisa digunakan tolak ukur berdasarkan Adversity
Quotient, untuk membuat suatu program kemandirian bagi siswa.
No comments:
Post a Comment